![](file:///C:\Users\win7\AppData\Local\Temp\msohtmlclip1\01\clip_image001.jpg)
(Ilustrasi)
Redenominasi
rupiah oleh Bank Indonesia segera dimulai. Masyarakat harus mengantisipasinya
dengan tepat, dan mengambil tindakan sendiri.
Pelaksanaan redenominasi
rupiah sudah semakin dekat. Meski belum ada dasar hukumnya, BI sudah
menyosialisasikan rancangan rupiah baru. RUU Redenominasi sudah hampir pasti
akan digolkan akhir 2013 ini, hingga redenominasi dapat dimulai sesuai rencana,
yaitu awal 2014. Dalam hal ini Pemerintah dan DPR hanya diperlukan sebagai
pemberi legitimasi legal saja, sebab BI, sebagai entitas di luar Pemerintahan
RI, memiliki kebebasan penuh mengambil keputusan kebijakan moneter, yang tidak
dapat dihalangi oleh pemerintah dan DPR.
Dua tahun lalu, Wakil
Presiden RI, Bapak Boediono, yang merupakan mantan Gubernur BI pun sudah
menegaskan: “Bahwa itu adalah kewenangan Bank Indonesia!” Tentu saja. BI adalah
bagian dari International Monetary Fund (IMF), bukan dari Pemerintah Republik
Indonesia. Kini yang dilakukan oleh para pejabat BI adalah meyakinkan
masyarakat bahwa redenominasi berbeda dengan sanering. Bahwa penghilangan tiga
angka 0 pada rupiah tidak mengubah nilai tukarnya.
Benarkah
klaim BI tersebut?
Anda harus memahami makna
redenominasi yang sebenarnya. Sebab, Andalah yang menerima akibatnya, bukan
mereka. Anda perlu memahami tindakan yang bisa diambil untuk menyelamatkan
harta benda pribadi dan keluarga. Kalau redenominasi itu dilaksanakan, atau
selama masa rencana ini, apa yang bisa Anda lakukan?
Memahami
Redenominasi
Redenominasi adalah teknik
baru para bankir dalam merekalibrasi mata uang. Langkah ini dilakukan karena
dua alasan (1) inflasi atau (2) devaluasi. Atau, kalau bukan karena keduanya,
karena alasan geopolitik tertentu. Ini terjadi, misalnya, ketika berbagai bankir
di Eropa bersepakat untuk memiliki mata uang regional euro, yang mengharuskan
tiap negara Uni Eropa merekalibrasi mata uang nasional masing-masing. Ini
adalah upaya pengendalian seluruh masyarakat setempat di bawah satu kekuasan
bankir tertentu.
Bila redenominasi itu
dilakukan karena inflasi, maka ada dua variasi, yaitu hiperinflasi atau inflasi
sangat tinggi dalam tempo singkat, atau inflasi kronis, yaitu inflasi yang
terus-menerus terjadi dalam waktu panjang.
Secara teknis redenominasi
mata uang nasional adalah rekalibrasi mata uang suatu negara dengan cara
mengganti currency unit mata uang lama (yang berlaku) dengan mata uang yang
baru, yang dipakai sebagai 1 unit mata uang. Bedanya dengan devaluasi adalah
pada yang terakhir ini unit rekalibrasinya adalah mata uang asing, umumnya
dolar AS. Kalau inflasinya sangat besar, maka rasioanya juga akan besar, bisa
kelipatan 10, 100, 1000, atau lebih besar lagi. Dalam hal ini, proses itu lalu
disederhanakan, dan disebut sebagai “penghilangan angka nol”. Dalam hal euro
rekalibrasi dilakukan atas berbagai mata uang nasional terhadap satu mata uang
tunggal baru, yaitu euro.
Nasib
Rupiah Dalam Sejarah
Sepanjang umurnya yang 68
tahunan rupiah sudah mengalami berkali-kali rekalibrasi. Yang dicatat dalam
buku sejarah di sekolah adalah saat rezim Orde Lama pada 31 Desember 1965,
memangkas nilai Rp 1000 menjadi Rp 1. Istilah yang populer untuk peristiwa ini
adalah sanering. Penyebabnya adalah hiperinflasi. Sesudah Orde Lama jatuh,
selama kurun pemerintah Orde Baru, rupiah juga mengalami berkali-kali
rekalibrasi, dengan istilah berbeda, yakni devaluasi. Dalam beberapa tahun awal
keberadaan Republik Indonesia rupiah juga sudah mengalami beberapa kali
rekalibrari.
Begitu Indonesia diakui
kemerdekaannya, 1949, rupiah dipatok sebesar 3.8 per dolar AS. Sesudah melorot
sampai Rp 11.4 per dolar pada 1952 (saat ORI diganti menjadi Uang Bank
Indonesia), dan terus melorot sampai Rp 45, melesat menjadi Rp 0,25 pada 1965,
berkat sanering Soekarno. Selama Orde Baru, atas desakan IMF dan Bank Dunia
rupiah berkali-kali didevaluasi. Pada 1970 menjadi Rp 378, pada 1971 menjadi Rp
415, pada 1978 merosot lagi 55%, menjadi lebih dari Rp 625 per dolar AS;
didevaluasi lagi pada September 1983, 45%, menjadi Rp 970 per dolar AS. Pada
1986 bertengger di Rp 1.660/dolar AS.
Dari waktu ke waktu nilai
tukar rupiah lalu terus mengalami depresiasi sampai mencapai angka sekitar Rp
2.200 per dolar AS sebelum ‘Krismon’ 1997. Nilai rupiah kemudian ‘terjun bebas’
pertengahan 1997, dan sejak itu terus terombang-ambing – lagi-lagi atas kemauan
IMF dan Bank Dunia – dalam sistem kurs mengambang (floating rate), dengan titik
terendah yang pernah dicapai sebesar Rp 16.000 per dolar AS, di awal 1998, dan
saat ini fluktuatif di sekitar Rp 9.500-Rp 10.000 per dolar AS.
Jadi, munculnya gagasan
untuk rekalibrasi rupiah kali ini, dengan cara redenominasi melalui
penghilangan tiga angka nol-nya, yakni mata uang Rp 1.000 menjadi Rp 1,
penyebabnya tiada lain adalah inflasi kronis. Tetapi bagi masyarakat umum
apakah ada perbedaan implikasinya antara sanering, devaluasi, dan redenominasi?
Secara substansial, tentu
saja, tidak ada bedanya. Ketiganya hanya bermakna bahwa mata uang rupiah kita
semakin kehilangan daya belinya. Arti kongkritnya adalah masyarakat yang
memegang rupiah semakin hari semakin miskin. Dalam rentang dua tahun terakhir
saja, sejak isu redenominasi dilontarkan 2010 lalu, dibandingkan saat ini
(2013), kalau diukur dengan nilai telor ayam saja, rupiah telah kehilangan
lebih dari 25% daya belinya. Dua tahun lalu Rp 100.000 mendapatkan 7 kg telor
ayam, hari ini cuma 5 kg. Tidak ada bedanya apakah rupiah itu diberi lima angka
0 (Rp 100.000) ataukah digunduli hanya dengan dua angka 0 (Rp 100) hasil
redenominasi. Daya belinya sudah tergerus 25% dalam dua tahun.
Penghilangan angka nol itu
sejatinya dilakukan karena dua alasan. Pertama, alasan teknis, kerepotan dalam
berbagai aspek pengelolaan mata uang dengan angka nominal besar. Kedua, alasan
psikologis atau tepatnya psikis, karena pada titik tertentu masyarakat tidak
akan bisa manerima harga dengan nominal yang sangat besar. Tetapi, tujuan
mendasarnya, adalah menutupi kegagalan mata uang kertas untuk mempertahankan
daya belinya. Redenominasi hanya menyembunyikan penyakit sejatinya, yaitu
depresiasi. Penyakit inflasi (akut atau kronis) atau tepatnya penurunan daya
beli mata uang kertas (depresiasi) bukan cuma diderita oleh rupiah. Semua mata
uang kertas mengalaminya. Dolar AS telah kehilangan daya belinya lebih dari 95%
dalam kurun 40 tahun. Euro, hasil rekalibrasi geopolitis, yang konon merupakan
mata uang terkuat saat ini, dalam sepuluh tahun terakhir, kehilangan sekitar
70% daya belinya. Rupiah? Lebih dari 99,9% daya belinya telah lenyap dalam 65
tahun ini. Maka, fungsi rekalibrasi sebenarnya hanyalah untuk menutupi cacat bawaan
uang kertas ini. Hingga publik tidak merasakan bahwa dalam kurun 68 tahun
Indonesia merdeka, kita telah dipermiskin sebanyak 275 ribu kali!
Rekalibrasi mata uang
kertas adalah senjata utama para bankir untuk mengelabui masyarakat atas
kenyataan ini. Dalam kurun sepuluh tahun terakhir ini saja belasan mata uang
berbagai negara direkalibrasi: Turki, Siprus, Slovakia, Romania, Ghana,
Azerbeijan, Slovenia, Turkmenistan, Mozambique, Venezuela, dll. Yang paling
spektakuler, tentu saja, adalah dolar Zimbabwe, yang dalam kurun lima tahun
terakhir mengalami tiga kali (2006, 2008, dan 2009) redenominasi, dengan
menghapus total 25 angka nol pada unit mata uangnya! Toh gagal juga, yang
berakhir dengan tidak dimilikinya mata uang nasional Zimbabwe, dan kini menerima
dolar AS sebagai mata uang mereka!
Catatan: tulisan ini adalah hasil up date dari tulisan
yang pernah dimuat di Harian Republika, 5 Agustus 2010, hal. 4
(Ukasyah/wakalanusantara.com/arrahmah.com)
- See more at:
http://www.arrahmah.com/news/2013/02/19/menghadapi-redenominasi-uang-rupiah.html#sthash.smMbf0QT.dpuf
No comments:
Post a Comment